Wednesday, January 21, 2009

Sedikit Bercerita Tentang Acheh

Acheh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang ‎merdeka dan berdaulat. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Acheh telah ‎mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama ‎karena kemampuannya sebagai pembina peradaban bangsa-bangsa di kawasan ‎Dunia Melayu;‎
Memang benar, sejak tahun 1411, Acheh telah membina hubungan dagang ‎dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya bukti kukuh ‎mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA DONYA” ‎sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang ‎museum di Bandar Acheh.‎
Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan Acheh, pernah terjadi ‎peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan tentara Laut Cina ‎dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké, atau yang lebih ‎dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga dikenal sebagai ‎seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa Mukim di ‎Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh yang ‎dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini ‎akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku ‎pada tahun 1400-an.‎
Kejayaan Acheh mencapai puncaknya pada abad ke-16-17. Untuk melihat ‎bagaimana kemegahan itu, patut disimak ucapan Prof. Wilfred Cantwell Smith, ‎dalam bukunya: Islam in Modem History, 1975, p.38, berkata: ‘Pada abad ke-‎‎16,‘Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh ‎kebesaran. Orang-orang Islam pada masa itu di Maroko, Istanbul, Isfahan, Agra ‎dan Acheh - adalah pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat berhasil”.‎
Ucapan Wilfred sangat beralasan sekali, sebab Acheh dalam sejarahnya telah ‎berhasil memukul mundur kekuatan Portugis (yang ketika itu merupakan negara ‎terkuat di dunia) dari Selat Melaka yang ingin menjarah ke seluruh kepulauan ‎Melayu. Kejadian ini dilukiskan dalam LA GRAND ENCYCLOPEDIE bahwa: ‎‎“Pada tahun 1582, bangsa Acheh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-‎pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo dan lain-lain), atas sebagian dari Tanah ‎Semenanjung Melayu, danbmempunyai hubungan dengan segala bangsa yang ‎melayari Lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang ‎lama sekali dilancarkan oleh bangsa Acheh terhadap bangsa Portugis yang ‎menduduki Melaka sejak permulaan abad 16, adalah halaman-halaman yang ‎tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada ‎tahun 1586, seorang Sultan Acheh menyerang Portugis di Melaka dengan ‎sebuah Armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.”‎
Serangan ini adalah dalam upaya membela maruah, mempertahankan ‎kedudukan dan wibawa bangsa-bangsa Melayu baik di Sumatera maupun di ‎Semenanjung. Diketahui bahwa antara tahun 1547,1568,1579,1586 dan 1629 ‎adalah merupakan masa-masa yang sangat kritikal dalam usaha menentukan ‎siapa pemenang dalam perang panjang dan meletihkan itu. Panglima perang ‎Portugis, Diego Lopez de Fonesco, telah berhasil dibunuh oleh pasukan elite ‎tentara Acheh. Benteng pertahanan Portugis, Gereja Sint John, yang oleh ‎Melayu lebih dikenali sebagai Sang Yoang dan Gereja Madre de Dios, telah ‎sepenuhnya dikuasai. Benteng pertahanan terakhir ialah Gereja Sint Paul Hill, ‎atau lebih tenar dengan sebutan “Formosa” (yang menang). Dalam benteng ini ‎Portugis terkurung dan bertahan. Kota Melaka selama 5 bulan sudah berada ‎dalam genggaman tentara Acheh. Bagaimanapun ketika itu Portugis berhasil ‎mengirim kurirnya untuk meminta bantuan dari Sultan Pahang. Akhimya tentara ‎Pahang berkomplot dengan Portugis menyerang tentara Acheh me1alui laut. ‎Kapal-kapal perang Acheh di pantai dibakar oleh tentara Pahang-Portugis, ‎hingga peperangan ini terjadi satu lawan satu.‎
Untuk dimaklumi bahwa: “sekutu yang amat diandalkan Portugis pada waktu itu ‎ialah Sultan Pahang. Pahang yang dahulu pernah diserang dan ditakluki oleh ‎Acheh, tidak merasa senang jika Acheh menguasai tanah Melayu. Portugis bagi ‎Pahang adalah sandaran kuat, sebagaimana Belanda jadi saudara Johor, dan ‎sewaktu-waktu Pahang dan Johor pernah diperintah oleh satu Sultan”. Prof. Dr. ‎Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1981, hlm 177, Pustaka Kuala Lumpur.‎
Tidak lama kemudian datang pula tambahan kekuatan tentara upahan Portugis ‎dari Johor, Jawa, Goa dan India. Kemenangan dan kekalahan silih berganti ‎antara dua kekuatan ini. Itulah sebabnya Portugis menyebut Gereja Sint de Hill ‎sebagai “Formosa”. Alkisah menceritakan bahwa, Melaka pada akhimya takluk ‎kepada Portugis sampai tahun 1641, sementara Acheh Sumatera selamat dari ‎penjajahan Portugis. Terlalu mahal harganya bangsa Acheh membayar untuk ‎mempertahankan maruah bangsa Melayu, khususnya di Semenanjung. Sebab ‎jika tulang-belulang 60.000 tentara Acheh dijadikan tiang, maka ianya dapat ‎memagari seluruh pantai Semenanjung tanah Melayu.‎
Riwayat seterusnya mengisahkan bahwa, ketika pasukan Belanda melakukan ‎kudeta kepada Sultan Acheh, yang dipimpin oleh Comelis de Houtman dan ‎Frederick de Houtman pada tahun 1599. Tentara Acheh ketika itu dapat ‎melumpuhkan kekuatan armada Belanda dan Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-‎‎1604) yang berkuasa ketika itu, telah menjatuhkan hukuman bunuh kepada ‎Comelis de Houtman yang dieksekusi langsung oleh Laksamana Malahayati ‎dengan rencongnya sendiri, sementara saudaranya, Frederick de Houtman ‎ditawan beserta dengan seluruh anak buahnya sebagai tahanan perang, yang ‎masing-masing dijatuhi hukuman selama sepuluh tahun. Baca “Oede Glorie”, ‎karangan Marie C. Van Zegelen.‎
Kejadian ini dilaporkan Sultan Acheh kepada Kerajaan Belanda. Sehubungan ‎dengan peristiwa itu Kerajaan Belanda telah mengirim surat permintaan ma’af ‎secara resmi. Dalam kasus ini, Sultan Acheh telah berlaku arif dan bijaksana ‎dengan membebaskan dan semua tahanan pulang dan diserahkan oleh Tengku ‎Abdul Hamid, Duta besar Acheh di negeri Belanda.‎
Selain daripada itu, dalam sejarahnya Acheh memberi kebenaran kepada kapal-‎kapal dagang dan perang Perancis yang dipimpin oleh Panglima perang ‎Beaulieu, untuk menggunakan Pelabuhan Acheh sebagai pangkalan untuk ‎memperbaiki kapal-kapal yang rusak.‎
Dalam lapangan diplomatik dan perdagangan, Acheh juga telah mencatat ‎sejarah yang sangat penting, sebab Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) ‎menyadari akan arti pentingnya kedudukan dan peranan Selat Melaka sebagai ‎satu-satunya lintasan dagang yang paling ramai di dunia. Maka Kerajaan Acheh ‎telah membuat perjanjian mengenai: Jaminan Keamanan, Cukai dan Peraturan ‎Lalu Lintas Dagang di Selat Melaka, dengan Kerajaan Inggeris, pada tahun ‎‎1603. Perjanjian tersebut telah diperbaharui kembali tahun 1819, atas ‎pertimbangan politik dan ekonomi pada kurun masa itu yang lebih menekankan ‎kepada pertahanan keamanan di Selat Melaka. Ini suatu petunjuk bahwa ‎Kerajaan Acheh mempunyai pengaruh dan peranan dalam menentukan strategi ‎ekonomi dan militer di Selat Melaka, sebab diketahui bahwa Sumatera ‎sebenarnya sangat mahal nilainya berbanding pulau-pulau lain di kawasan Dunia ‎Melayu. Untuk melihat bagaimana kuasa Acheh pada masa itu terbukti bahwa ‎ketika Belanda ingin membuka Konsulatnya di Padang Minangkabau, Belanda ‎mesti meminta izin dari Sultan Acheh.‎
Seperti telah ditulis oleh seorang ahli sejarah Perancis bahwa: “Pada abad ke ‎‎17, Sultan Achehlah yang berdaulat atas seluruh pulau Sumatera dan tidak ada ‎sanggahan atas kenyataan itu dari pihak manapun juga. Acheh tidak memerintah ‎langsung seluruh Sumatera tetapi yang diperintah langsung ialah tepi pantainya ‎dan perdagangannya. Menurut Beaulieu, Acheh memerintah langsung separuh ‎pulau Sumatera dan yang terkaya yang lain di bawah kerajaan-kerajaan yang ‎dilindungi Acheh. Dan di Semenanjung Tanah Melayu kerajaan dibawah ‎lindungan Acheh ialah Kedah, Pahang dan Perak”. Denys Lombard, Le Sultanat ‎d‘Atjèh au Temp d’Iskandar Muda, p.98.‎
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan Ilmu Agama, Acheh telah ‎melahirkan beberapa Ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan ‎utama dalam bidang masing-masing, seperti:‎
Hamzah Pansuri (1575-1625) dalam bukunya “TABYAN FI-MARIFATI AL-U ‎ADYAN”,‎
Syamsuddin al Sumatrani (1630) dalam bukunya “MI’RAJ al-MUHAKIKIN AL-‎IMAN=‎
Nuruddin Arraniry (1658) dalam bukunya “SIRAT AL-MUSTAQIM- BURTANUS ‎AL-SALATIN”;‎
Syeh Abdul Rauf Singkili (1693) dalam bukunya “MI’RAJ AL TULABB FI ‎FASHIL”,‎
‎“MA’RIFAT AL-AHKAM ‘ASH-SHAYYAH LI MALI AL WAHAB” DAN “UMDAT AL ‎MUHTAJlM’“’‎
Pada masa itu bangsa-bangsa di kawasan dunia Melayu telah memakai ‎perundangan Acheh -Qanun Al Asyi- di Brunei Darussalam dan di Kerajaan ‎Melayu Borneo. Antara Acheh dengan bangsa Melayu yang lain saling ‎mempunyai ikatan kultural, agama dan adat-istiadat. Kerukunan antara sesama ‎serumpun begitu mesra dan harmoni, khususnya antara Acheh dengan ‎Semenanjung Malaysia, apalagi: “setelah dinobatkannya Iskandar Sani (Putra ‎Raja Pahang yang diambil menantu oleh Iskandar Muda) menjadi Sultan Acheh ‎sesudah mangkat Iskandar Muda (1636) membuatnya menjadi simbol yang ‎hidup dari kerukunan antara Acheh dengan Semenanjung Tanah Melayu yang ‎sangat menguatkan silaturrahim antara Acheh dengan Raja-raja Tanah Melayu. ‎Pada tahun 1638/1639, menurut Kitab Bustanus-Salatin, Iskandar Sani mengirim ‎Armada besar bukan untuk berperang tetapi untuk membawa batu-batu nisan ‎dari pualam berukir yang dibuat di Acheh untuk menghiasi makam-‎makam/kuburan Ayahanda/ibunda dan keluarga di Pahang. Perintah Sultan ‎Iskandar Sani kepada armada Acheh: ‘Pergilah ke Pahang dan hiasilah makam ‎Ayahanda/ibunda kami dan
kerabat dengan batu-batu nisan itu diangkut dengan arakan-arakan megah ‎sepanjang jalan, diiringi oleh pasukan musik di bawah ratusan payung dan ‎kibaran bendera Acheh. Perarakan itu memakan masa berbulan dalam ‎perjalanan.‎
Selama masa Iskandar Sani, hubungan Acheh dengan Semenanjung Tanah ‎Melayu amat harmonis sekali dan tidak pernah dikirim tentara dan armada untuk ‎mengamankannya. Hubungan baik antara Tanah Melayu dengan Acheh yang ‎dijalin semasa Iskandar Sani kekal beberapa abad lamanya” Denys Lombard. Le ‎Sultanat d’Atjèh au Temp d’Iskandar Muda p.94.‎
Sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat, Acheh selalu dipandang oleh ‎bangsa asing khususnya Inggeris dan Belanda yang mempunyai kepentingan ‎politik dan ekonomi di Sumatera- tetap memelihara hubungan baik dengan ‎kerajaan Acheh. Hal ini ditandai dari isi Traktat London, tahun 1824 yang antara ‎lain menyebut : Belanda dan Inggeris tetap tidak akan mengganggu gugat ‎kedudukan Acheh di Sumatera dan hubungan baik selama ini terbina tetap ‎dikekalkan.‎
Akan tetapi formula traktat London, 1824, dimana Belanda mengambil alih kuasa ‎Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya merasa tersekat dengan ‎peranan dan kedudukan Acheh yang kuat di Sumatera. Sejak itulah Belanda ‎sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Acheh.‎
Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak, tahun 1858, keadaan ‎sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya perjanjian ini, maka ‎Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan Utara Sumatera tunduk ‎kepada Belanda. Karena itu Sultan Acheh menjawabnya dengan mengirimkan ‎kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat Melaka untuk ‎memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di Sumatera. ‎Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan ‎perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan ‎Acheh. Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti ‎memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Acheh dan hasil bumi Deli ‎hanya dapat diperjual belikan antara Sultan Deli dengan Belanda.‎
Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, sudah ‎membuat rencana untuk melakukan serangan kepada kesultanan Acheh, akan ‎tetapi ramai penasehat militer dan sipil Belanda melarang, kalau bisa jangan! ‎Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang. Gubernur Jenderal Hindia ‎Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah kekuasaan kita di ‎Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah untuk diawasi. ‎Memperluas wilayah kekuasaan, sama artinya dengan menambah runyam dan ‎dapat menghancur masa depan kita di wilayah Hindia Timur”. ‎
Bahkan Multatuli sempat mengirim surat kepada Raja Belanda, katanya: ‎‎“Gubernur-Jenderal dan Paduka yang Maha mulia sudah siap sedia, pada saat ‎ini, untuk menyatakan perang kepada Sultan Acheh, dengan alasan pura-pura ‎yang dicari-cari dan diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar ‎yang dikarang-karang, sebagai ‘provokasi’ semata-mata. Pernyataan perang ‎atas kerajaan Acheh itu dengan niat untuk merampas kedaulatan dari Sultan ‎Acheh dan merampok segala harta pusakanya. Paduka Yang Mulia, ini adalah ‎perbuatan yang tidak membalas budi, yang tidak bersifat mulia, yang tidak ‎mempunyai kehormatan, dan yang tidak patut” October, 1872 (Paul Van ‘t Veer, ‎Atjéh Oorlog, p 39.‎
Untuk melicinkan niatnya, Belanda mengajak Inggeris untuk menanda tangani ‎suatu perjanjian dengan Inggeris yang isinya: bekas jajahan Belanda di Afrika ‎‎(Gold Coast -sekarang Ghana) diserah kepada Inggeris dan jajahan Inggeris di ‎Sumatera diserah kepada Belanda. Untuk mengusasi seluruh Sumatera jika ‎perlu Belanda akan, memerangi Acheh. Perjanjian ini ditanda tangani tahun ‎‎1871. Ketika itu seorang anggota Parlemen Inggeris Lord Standley Aderley, ‎seorang bangsawan Inggeris telah membantah dan menolak isi perjanjian itu. ‎Katanya: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk ‎menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang ‎Belanda sudah menyerang Negara Acheh, dan digagalkan. Kejatuhan Acheh ‎akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia ‎Tenggara; kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara ‎dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah ‎sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan Belanda ini ‎bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tetapi juga merusakkan ‎kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja ‎berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda ‎dari perbudakan -Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji’- sehingga tidak ‎ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong ‎meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya ‎mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Acheh, sebab Negara Acheh berhak ‎mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbalaka, ‎dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi suatu Negara ‎merdeka ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol”‎
Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa anggota ‎Parlemen Inggeris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang antara Acheh ‎melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah menjawab dalam Surat ‎kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Katanya: “Perjanjian Belanda-Inggeris ‎tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggeris dari ‎kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian ‎Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa ‎dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian ‎yang sudah ditanda tangani itu” (THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)‎
Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah ‎mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris ‎yang sudah dikhianati itu: “Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam ‎perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini ‎sebagai basis operasi menyerang Acheh. Jadi Inggeris bukan saja tidak ‎membantu Acheh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia ‎memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Acheh. Sudah ‎pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan ‎Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam ‎perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda ‎menundukkan Acheh. Walaupun demikian masih banyak orang menyangka ‎bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan ‎menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan ‎Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi ‎kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.‎

‎“Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab ‎semuanya adalah terang-benderang. Inggeris terikat dengan Perjanjian ‎Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord Granville berusaha ‎menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama ‎negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. ‎Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah ‎hilang perasaan kehormatannya”.‎
Belanda beranggapan bahwa bangsa Acheh mempunyai mentalitas yang sama ‎dengan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu, dan tetap akan memerangi Acheh, ‎sebab satu-satunya bangsa di Sumatera yang tidak pemah menjadi bahagian ‎dari Nederland East Indie kini mesti ditakluki. Maka pada 26 Maret, 1873, ‎Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, menyatakan Perang kepada ‎Sultan Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:‎
Acheh menyerah kalah dengan tanpa syarat;‎
Turunkan Bendera negara Acheh dan kibarkan benderra Belanda warna merah, ‎putih biru;‎
Hentikan perbuatan melanun di Selat Melaka;‎
Serahkan kepada Belanda sebahgian Sumatera yang berada dalam lindungan ‎Sultan Acheh;‎
Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.‎
‎“Ultimatum” yang dihantar oleh Sumo Widigdjo -manusia Jawa sontoloyo- ini ‎ditolak mentah-mentah oleh Sultan Acheh, maka terjadilah perang melawan ‎Belanda pada 4 April 1873.‎
Bagaimana peperangan itu terjadi, sudahpun ditulis oleh LONDON TIMES, pada ‎‎22 April 1873 sebagai berikut: “Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah ‎penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang ‎besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Negara Acheh. Bangsa ‎Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan ‎saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”‎

Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis: “Suatu pertempuran ‎berhunur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis ‎dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima ‎Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda ‎itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat ‎dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen ‎sudah menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari ‎kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur”‎
Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis ‎bahwa: “Now the Achehnese aducation of the present generation of Christendom ‎may be said to have fairly begun”‎
Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah yang ‎dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam rangka ‎menyambut kemenangan tentara Acheh melawan serdadu Belanda dalam ‎perang Acheh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu Acheh memang ‎sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16-17.‎
Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali menyerang dengan ‎mengerahkan serdadu upahannya dari jawa, Madura, Sunda dan MaIuku, serta ‎menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Perancis dan termasuk penjahat ‎dari Afrika untuk dikerah untuk mempertaruhkan nyawa mereka di Acheh.‎

Setelah terjadinya perang priode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak ‎berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Acheh tahun 1942. ‎Belanda keok di Acheh!‎
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu ‎nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana perang ‎yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua ‎perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar ‎sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam ‎sejarah kedua negara.‎
Bagi Belanda segalanya sudah serba tidak menjadi. Seorang penulis sejarah ‎Belanda mengatakan: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah ‎menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan ‎Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan ‎puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini ‎adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah ‎bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih ‎daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik ‎internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda” Paul Van ’ t Veer, De ‎Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p. 10.‎

Bangsa Acheh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, ‎sebab bangsa Acheh memandang perang melawan Belanda sebagai perang ‎suci - jihad fisabilillah - yang bermakna orang Acheh akan berlomba-lomba untuk ‎mati syahid menggempur musuh yang diransang dengan aqidah Islam yang ‎sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah ‎melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya. Para ‎Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Thjik di Tiro ‎Muhammad Saman telah memimpin peperangan ini dan diikuit oleh bangsa ‎Acheh serta famili di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro ‎yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhôt, Pidië, tahun 1911.‎
Perang terus merebak ke seluruh Acheh. Tengku Mata Ië bersama pasukannya ‎berjuang di sektor Acheh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya berjuang di ‎sektor Timur; Tengku Paja di Bakông bersama pasukannya berjuang di sektor ‎Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya berjuang di sektor ‎Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masém berjuang di sektor ‎Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor Tenggara. ‎Akhimya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Acheh dalam keadaan ‎hina. Semestinya Acheh sudah merdeka. Akan tetapi bangsa Acheh sekali lagi ‎hams berhadapan melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1945, giliran Jepang ‎pula angkat kaki dari bumi Acheh. Jadi Acheh otomatis sudah merdeka, apalagi ‎Belanda, tidak pernah berani lagi masuk ke Acheh pada ketika itu walaupun ‎seluruh wilayah Nederland East Indie” telah dikuasai kembali pada tahun 1946-‎‎1948. Keadaan di Acheh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda. ‎‎“sedudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Acheh, pada ‎ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera ‎diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Acheh. Di bagian ‎satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah ‎menjadi kenyataan. Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal. 254.‎
Bahkan secara jujur dikatakan bahwa: “Acheh bukan Jawa. Sebenarnya sudah ‎terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan tidak ‎berketentuan disebut Hindia Belanda (“Indonesia”) tidak ada suatu kerajaan yang ‎dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini. Suatu peperangan ‎yang lamanya lebih dari setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah ‎milyar Belanda abad ke 19 yang mahal itu sudah menjadi bukti dari hal ini. Kita ‎sudah tahu sekarang, tetapi kita tidak tahu itu di tahun 1873. Biarlah kenyataan-‎kenyataan ini tegak berdiri -jangan disembunyikan- supaya orang-orang di negeri ‎Belanda, atau lebih-lebih lagi di Jawa dapat mengetahui, manusia yang ‎bagaimana bangssa Acheh itu” (Paul Van ‘t Veer, De Atjeh Oorlog, p.76.‎
Dengan tidak disangka-sangka, terjadilah penyerahan kekuasaan dan ‎kedaulatan dari Belanda kepada pemerintahan Indonesia pada 27 Desember, ‎‎1949. Dalam penyerahan itu dimasukkan juga Acheh menjadi salah satu bahgian ‎dari “Indonesia”. Padahal Acheh dalam sejarahnya tidak pernah menjadi bahgian ‎dari “Nederland East Indie” dan Belanda sendiri sudah 7 tahun angkat kaki dari ‎bumi Acheh. Penyerahan ini adalah perbuatan melawan hukum -illegal- dan ‎bertentangan dengan Hukum Intemasional dan Resolusi PBB. Mengapa Belanda ‎yang tidak mempunyai hak apapun terhadap Acheh, berani menyerahkan ‎kepada “Indonesia”-?. Inilah sebenamya akar konflik dan alasan sejarah yang ‎menyebabkan bangsa Acheh tetap memperjuangkan kemerdekaannya.Di ‎samping masalah ketidakadilan
Selain daripada itu, Kesultanan Melayu Daik Lingga dan sultan-sultan lain yang ‎berpusat di Riau, mempunyai sejarah yang juga mengagumkan. Sebab jika ‎berbicara tentang akar Bahasa dan peradaban Melayu, maka kita tidak terlepas ‎dari membicarakan bangsa Melayu di Riau: Dari sinilah cikal-bakal bahasa dan ‎peradaban Melayu bermula.‎
Meskipun kemudian bumi Riau kerap bertukar penjajah atau majikan, akan tetapi ‎ada yang paling membanggakan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, yaitu: ‎bahasa Melayu masih tetap bertahan sebagai satu-satunya bahasa resmi dan ‎belum tercemar atau lapuk karena perkembangan zaman. Bangsa Melayu Riau ‎tidak akan mau merubah bahasa, peradaban dan agamanya meskipun berada ‎dalam era globalisasi informasi. Bangsa Melayu Riau bukan bangsa Mesir. ‎Sebab di dunia ini yang pernah merubah bahasa dan agamanya adalah Mesir. “. ‎‎. . selama 2000 tahun terakhir, Mesir telah mengubah bahasanya tiga kali dan ‎agamanya tiga kali dan dalam kehidupan rakyat, tidak ada yang lebih penting ‎daripada bahasa dan agama” Muhammad Heikal. Anwar Sadat: Kemarau ‎Kemerahan. Hal.50‎
Sekarang Riau lebih mencuat lagi namanya, karena kaya dengan hasil buminya: ‎Kelapa Sawit, getah bermutu tinggi, penghasil gas dan minyak mentah, ‎pengekport Papan lapis terbesar di dunia, hingga Riau telah dijuluki sebagai ‎negeri petro dollar.‎

Begitu juga Deli, bumi yang kaya dengan hasil bumi. Penjualan Tembakau Deli ‎suatu masa dahulu bersaing hebat dengan negara lain di Bremen, Jerman. Akan ‎halnya dengan Kelapa Sawit dan Getah merupakan hasil yang paling ‎membanggakan dari dahulu sehingga sekarang. Dalam sejarahnya, Deli selalu ‎menjadi rebutan penjajah. Ini satu isyarat bahwa Deli memang mempunyai nilai ‎tambah di Sumatera.‎
Selain itu Bangka Belitung juga tidak kalah megahnya, sebab negeri ini dalam ‎sejarahnya, sering disinggahi oleh kapal-kapal pedagang asing suatu masa ‎dahulu dan kini lebih dikenal sebagai penghasil Bawang putih, biji timah dan lain-‎lain.‎
Ranah Minang. Dalam sejarahnya, bangsa Minangkabau sudah mulai ‎mengamalkan pemerintahan yang bersendikan Islam sejak Sultan Alif berkuasa. ‎Dasar pemerintahan ketika itu diperkenal “HUKUM BERSENDIKAN SYARA’. ‎SYARA’ BERSENDIKAN KITABULLAH”. Yang dipertuan Agung di Ranah ‎Minang berpusat di Pagaruyung, yang terletak di Tanah Datar. Beratus-ratus ‎tahun Yang Dipertuan Agung berkuasa. Walaupun suatu masa dahulu terjadi ‎gelombang perpindahan yang besar dan beberapa kali dari ranah Minang ke ‎Tanah Semenanjung, khususnya ke Negeri Naning -Negeri Sembilan- Malaysia, ‎namun Yang dipertuan Negeri Naning tetap menghormati dan tunduk kepada ‎Yang Dipertuan Agung di Pagaruyung sebagai induk.‎
Kemudian terjadi pergolakan melawan penjajah asing. Bagaimanapun, bangsa ‎Minang dikenal gigih membela dan mempertahankan marwah bangsa dan ‎negaranya. Hal ini ditandai dengan peperangan melawan Belanda pada tahun 18 ‎‎17-l 837. Ketika Belanda menyerang kota Padang tahun 18 17, Bangsa ‎Minangkabau tidak mudah menyerah, walaupun kekuatan musuh pada ketika itu ‎sulit dilawan.‎
Perang melawan Belanda baru berhenti setelah seluruh bumi Minang ditawan ‎oleh Belanda dan perlawanan baru tamat setelah berakhir perang Padri tahun ‎‎1837, yang melibatkan kaum Ulama dan rakyat bersama-sama melawan ‎penjajah. Akan tetapi setelah pepmimpin perangnya -Imam Bonjol- dikhianati, ‎ditangkap dan ditawan dan diasingkan oleh Belanda ke Sulawesi, maka ‎perlawanan bangsa Minangpun terhenti. Dengan begitu, sejak tahun 1838, ‎Belanda sudah mulai mendirikan sekolahnya dan melakukan ‘brain washing’ ‎terhadap bangsa Minangkabau.‎

Di sini, ada hal yang istimewa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di kawasan ‎Dunia Melayu. Bangsa Minang dikenal sebagai suatu bangsa yang paling unik ‎tatanan masyarakatnya dalam rumpun bangsa Melayu, sebab sistem ‎kekeluargaan yang mereka amalkan berdasarkan sistem “Matrilinial” (dimana ‎kaum wanita lebih tinggi dan dimuliakan status sosialnya berbanding kaum ‎lelaki). Sistem kekeluargaan seperti ini kemungkinan besar dipercayai berasal ‎dari Kombodia yang merupakan asal-usul dari kehidupan Melayu tua yang ‎berpindah ke Sumatera. Salah satu Suku yang hidup di Kambodia memang ‎menerapkan sistem kekeluargaan Matrilinial dalam masyarakatnya. Diketahui ‎juga bahwa salah satu bangsa yang paling setia memelihara adat-istiadat adalah ‎bangsa Minangkabau. Bahkan menurut Zent Graaff, seorang penulis Belanda ‎menyifatkan bahwa “Minangkabau adalah bangsa yang paling kental rasa ke-‎Sumateraan-nya”. Ranah Minang sangat kaya dengan hasil bumi seperti ‎Batubara, balak, pupuk dll.‎
Demikian pula Palembang dan Lampung. Di sinilah pusat kerajaan Sriwijaya ‎yang sangat megah dan masyhur itu. Dalam sejarahnya yang panjang itu, ‎Palembang telah mengalami pasang-surut dalam percaturan politik nasional dan ‎Internasional. Dibayangi oleh kemegahan keberanian, bangsa Palembang telah ‎bertanmg melawan penjajah Belanda yang menyerang pada tahun 1821. ‎Diketahui bahwa serdadu Belanda pada awalnya mengalami kekalahan besar di ‎Palembang, mereka ramai yang mati terjerat dalam rawa-rawa. Namun pada ‎akhirnya perang melawan Belanda perlahan-lahan redup dan terhempas dalam ‎pelukan penjajah.‎
Persoalannya sekarang. Mengapa penjajah Belanda begitu bernafsu terhadap ‎Sumatera? Sehingga mereka berani mempertahukan segala-galanya? Jawabnya ‎sudah tentu: “Saya tahu harganya Sumatera, dengan luas wilayahnya yang tak ‎terhingga, yang membolehkan perluasan perusahaan-perusahaan kita dengan ‎tiada batas sambil memperkuat kedudukan kita di daerah-daerah yang sudah ‎kita kuasai untuk memeras kekayaannya secara yang lebih menguntungkan kita ‎lagi. “Jawa tenggelam dengan tidak berarti sama sekali jika dibanding dengan ‎Sumatera, atau hal itu sebenarnya sudah terjadi sekarang juga…” Multatuli, 27 ‎Februari, 1872.‎
INILAH HARGA SUMATERA. Akan tetapi seperti sudah dikatakan bahwa: harga ‎SUMATERA bukan harga material semata-mata. “Harga Sumatera bukanlah ‎ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan Sumatera, akan tetapi berapa ‎harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya.”‎
Jadi, jika berbicara tentang Sumatera, maka kita tidak dapat mengetepikan dua ‎faktor penting yaitu: faktor konstan dan faktor variable yang langsung berhubung ‎kait dengan, keperluan dan kepentingan bangsa-bangsa Sumatera.‎
Pertama, faktor konstan dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera, yaitu: Bumi ‎Sumatera dan Selat Melaka yang paling penting maknanya. Selat Melaka ‎merupakan poros perdagangan penting yang menuntut perlu adanya kekuatan ‎pertahanan keamanan dari ancaman musuh. Sumatera dan Selat Melaka selalu ‎dipandang strategik dalam konteks politik, ekonomi dan pertahanan, lebih ‎daripada itu ialah untuk menjaga kepentingan nasional bangsa-bangsa Sumatera ‎dan di Semenanjung, sehingga pada akhirnya menjadi suatu dunia yang selamat ‎dan harmoni.‎
Faktor variable dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera ialah: semua konsep ‎yang datang dari luar, seperti:.* “cultural imperialism”, capitalism”, colonialism”, ‎‎“salvation”, “paganism”, “democratic way of life“, “Christian” dan “Javanism” yang ‎telah mempengaruhi dan mengancam nilai-nilai peradaban kultural dan ‎keagamaan bangsa-bangsa Sumatera. Secara mendetil perkara ini akan dibahas ‎dalam satu bab tersendiri.‎
Era Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau ‎bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia ‎sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-‎Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera ‎berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik Al Saleh yang ‎meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada ‎tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu daripada Malik ‎Al Saleh.‎
Lahirnya Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra ‎dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang ‎Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan ‎kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan ‎daerah Jawa Barat didudukinya Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak ‎kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di ‎India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 ‎lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.‎
Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu ‎India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ‎ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap ‎kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini ‎lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik ‎Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir.‎
Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada
Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja ‎Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada ‎menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.‎
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ‎ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan ‎menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan ‎kerajaan Majapahit". Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah ‎Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera ‎Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ‎menggempur Samudera Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada ‎tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya ‎sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.‎
Era Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. ‎Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh ‎di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh ‎mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga ‎Perak.‎
Aceh juga merupakan suku bangsa pertama di pulau Sumatra yang memiliki ‎tradisi militer, dan pernah menjadi suku bangsa Adi Daya untuk wilayah regional ‎Selat Malaka (Sumatra dan Semenanjung Melayu).‎
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari ‎Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena ‎terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan ‎pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai ‎tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu ‎yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh ‎karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. ‎Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.‎
Lawan Portugis
Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan ‎Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul ‎dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam ‎dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai ‎pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan ‎armadanya menaklukan Malaka.‎
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan ‎Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin ‎‎(1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat ‎Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan ‎Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan ‎yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh SultAceh merupakan ‎negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah ‎asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar ‎Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat ‎Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.‎
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari ‎Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, ‎karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan ‎pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai ‎muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu ‎yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh ‎kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. ‎Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.‎
Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, ‎mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan ‎pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh ‎Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala ‎itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris ‎untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga ‎mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari ‎batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir ‎James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara ‎Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan ‎Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan ‎Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama ‎Meriam Raja James.‎
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah ‎mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. ‎Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan ‎utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. ‎Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah ‎di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya ‎meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan ‎dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda ‎belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara ‎agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat ‎sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard ‎suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.‎
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk ‎menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di ‎Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka ‎utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka ‎harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan ‎hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, ‎persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun ‎sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan ‎beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. ‎Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada ‎Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha ‎bintang jasa kepada Sultan Aceh.‎
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja ‎Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat ‎berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. ‎Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah ‎bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan ‎Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, ‎Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale ‎Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis ‎tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana ‎tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan ‎Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. ‎Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai ‎Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang ‎sambil menjamu tetamu-tetamunya.‎
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang ‎terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut ‎sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu ‎Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan ‎Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau ‎merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau ‎pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. ‎Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 ‎diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga ‎datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan ‎seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan ‎wanita di Aceh.‎
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan ‎kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima ‎Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III ‎di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan ‎kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala ‎itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur ‎tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.‎

Sultan-sultan Aceh ini. Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 ‎keadaan Aceh tenang.‎

Hubungan dengan Barat
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir ‎James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: ‎‎"Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan ‎yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di ‎Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah ‎kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga ‎termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas ‎yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya ‎Putih".‎
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat ‎Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal ‎tahun 1585:‎
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the ‎land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to ‎Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.‎
‎(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang ‎terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah ‎wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit ‎hingga matahari terbenam).‎
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja ‎James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam ‎sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat ‎dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.‎
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah ‎mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. ‎Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan ‎utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. ‎Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah ‎di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya ‎meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan ‎dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda ‎belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara ‎agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat ‎sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard ‎suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.‎
Ottoman

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk ‎menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. ‎Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh ‎terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit ‎demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada ‎akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya ‎tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik ‎hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap ‎dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ‎ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa ‎selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan ‎Aceh.‎

Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan ‎Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang ‎sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut ‎pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai ‎hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa ‎Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, ‎Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee ‎Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis ‎tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana ‎tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman ‎Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang ‎mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga ‎memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri ‎istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di ‎sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-‎tetamunya.‎
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang ‎terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut ‎sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu ‎Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan ‎Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau ‎merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau ‎pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. ‎Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya ‎adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang ‎fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang ‎wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di ‎Aceh.‎
Datangnya pihak kolonial
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal ‎abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania ‎Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa ‎menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu ‎kepada Britania Raya.‎
Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania ‎menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim ‎bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun ‎‎1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk ‎mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.‎
Perang Aceh

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan ‎karena:‎
‎1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana ‎Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada ‎Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah ‎kekuasaan Aceh.‎
‎2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana ‎isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang ‎batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis ‎lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.‎
‎3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal ‎Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini ‎disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.‎
‎4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan ‎Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.‎
‎5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, ‎Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di ‎Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda ‎mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di ‎Guinea Barat kepada Inggris.‎
‎6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik ‎dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke ‎Turki 1871.‎
‎7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di ‎Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. ‎Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya ‎datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang ‎apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak ‎untuk memberikan keterangan.‎
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah ‎melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 ‎serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, ‎namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan ‎Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri ‎berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.‎
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut ‎istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan ‎oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid ‎Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang ‎telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang ‎fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai ‎tahun 1904.‎
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan ‎kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima ‎Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III ‎di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan ‎kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah ‎mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan ‎dalam urusan Aceh dan Belanda.‎
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha ‎membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah ‎kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh ‎menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai ‎gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan ‎perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin ‎setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima ‎prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda ‎untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar ‎malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ‎ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang ‎mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak ‎Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri ‎Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.‎
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal ‎merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden ‎yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, ‎kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan ‎kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck ‎Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti ‎kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan ‎judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana ‎untuk menaklukkan Aceh.‎
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas ‎di Aceh adalah:‎
‎1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di ‎Keumala) beserta pengikutnya.‎
‎2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.‎
‎3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.‎
‎4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.‎
‎5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan ‎langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan ‎sosial rakyat Aceh.‎
Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada ‎‎1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, ‎dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri ‎Belanda), merebut sebagian besar Aceh.‎
Sultan M. Daud akhirnya Berdamai kepada Belanda pada tahun 1903 setelah ‎dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh ‎Belanda.Kemudian beliau ditangkap dan dibuang ke Batavia pada tahun 1904. ‎Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan ‎bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada ‎tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.‎

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan ‎marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang ‎telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya ‎Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.‎
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan ‎anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri ‎Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan ‎Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menemui Belanda pada tanggal 5 Januari ‎‎1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap ‎Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ‎ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan ‎beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata ‎dan bernegosiasi dengan Belanda di Lhoek Seumawe (1903). Akibat Panglima ‎Polem berdamai dengan Belanda, banyak penghulu-penghulu rakyat yang ‎mengikuti jejak Panglima Polem.‎
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang ‎dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti ‎pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang ‎terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.‎
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih ‎melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ‎ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.‎
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan ‎kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai ‎gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam ‎yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun ‎‎1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. ‎Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama ‎Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia ‎Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di ‎sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama ‎Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.‎
Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad ‎‎(parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. ‎‎(Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, ‎Moehammad Hasan).‎
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh ‎menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 ‎Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. ‎Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. ‎Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan ‎Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ‎ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. ‎Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, ‎dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan ‎di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.‎
Masa Republik Indonesia
Aceh Tidak Termasuk Anggota Negara-Negara Bagian RIS?‎
‎41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia ‎diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata ‎perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van ‎Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS ‎‎(Republik Indonesia Serikat).‎
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan ‎Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari:‎
‎1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.‎
‎2. Negara Indonesia Timur.‎
‎3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta‎
‎4. Negara Jawa Timur‎
‎5. Negara Madura‎
‎6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan ‎Labuhan Batu
‎7. Negara Sumatra Selatan‎
‎8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-‎Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah ‎Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.‎
‎9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan ‎Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 ‎Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk ‎jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana ‎Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.‎
Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh?‎
Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri ‎Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta ‎membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh ‎Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember ‎‎1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan ‎RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan ‎Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu ‎upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan ‎kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, ‎‎1986)‎
Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan ‎Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang ‎Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang ‎Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada ‎tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST ‎‎(Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).‎
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan ‎Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik ‎Indonesia hasil panitia bersama.‎
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, ‎Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan ‎Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya ‎untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan ‎Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat ‎Negara RI, 1986)‎
Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh
‎3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh ‎memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada ‎tanggal 20 September 1953.‎
Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam ‎Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila ‎di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.‎
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk ‎bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:‎
‎1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah ‎memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan ‎kesedjahteraan Negara.‎
‎2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan ‎sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.‎
‎3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti ‎biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.‎
‎4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, ‎mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan ‎sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang ‎melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.‎
‎5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah ‎kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.‎
‎6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, ‎jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama ‎jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat ‎dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami ‎serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta ‎laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.‎
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.‎
MUHARRAM 1373‎
Atjeh Darussalam
September 1953‎
Desember 1962, Daud Beureueh Menyerah Kepada Penguasa Daulah Pancasila
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam ‎NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh ‎kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh ‎di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan ‎‎"Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam ‎I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, ‎Sekretariat Negara RI, 1986)‎

No comments: