Wednesday, February 18, 2009

Sebagian besar masyarakat Atjeh pasti sering mendengar papatah “ Adat Bak Poeteumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Bentara / Lakseumana ”. Dan saya pun yakin sebagian besar pasti hafal dengan pepatah ini, tapi sayang nya tidak semua orang bias memaknai esensinya.
Secara nalar peribahasa, amat wajar bahwa “ Adat Bak Poeteumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala “ memang sesuai dengan ketatanegaraan dan sejarah Atjeh. Yakni segala urusan yang berkaitan dengan adat dan undang – undang kenegaraan merupakan hak penuh SulthanAceh. Sementara yang menyangkut Agama Islam berada dalam wewenang para ulama.
Dalam dua naskah lama berhuruf Jawoe ( Jawie ) yang telah di salin ke huruf latin oleh T. A. Sakti berupa Adat Atjeh dan Tazkirah Thabaqat, sama sekali tidak menyinggung “ lembaga legislative “ Putroe Phang dan Bentara / Lakseumana. Maka sangat perlu untuk mencari “ Naskah Qanun Al-Asyi “ yang merupakan sumber utama ketatanegaraan kerajaan Atjeh masa lalu.

Memang terhadap Qanun Al – Asyi / Qanun Meukuta Alam alias Adat Meukuta Alam telah dilakukan banyak pengkajian oleh para pakar. Namun sebelum kit abaca sendiri naskah asli Qanun Al-Asyi, tentu masih kabur, sebab masih banyak hal yang belum jelas. Soal judul naskah saja diantara para pakar, tidak sama penyebutanya. Ada penulis yang menyamakan judul Qanun Al – Asyi dengan Qanun Meukuta Alam serta Adat Meukuta Alam. Tetapi ada pula pakar yang membedakan ketiga judul tersebut. Lain lagi dengan Prof. Dr. G.J.Drewes yang pernah mengkaji naskah Adat Atjeh. Katanya, naskah itulah yang bernama Adat Meukuta Alam. Kalau masalah judul saja sudah berbeda, apalagi tentang isinya, sudah pasti penjabarannya amat berfariasi.
Diantara budayawan/sastrawan/Sejarawan Atjeh yang paling serius menelaah Qanun Meukuta Alam adalah Prof. A. Hasyimy ( lihat di pustaka beliau ), tapi hampir semua naskah Qanun Meukuta Alam yang beliau kutib isinya sama dengan naskah Tazkirah Thabaqat yang sudah ditulis kehuruf lati oleh T.A. Sakti. Jadi kalau disebut Tazkirah Thabaqat sebagai Qanun Meukuta Alam tidak lah tepat, sebab diberbagai halaman dalam naskah tersebut “mempertegas “ bahwa dirinya adalah berjudul Tazkirah Thabaqat pula.
Artinya, menghadirkan Qanun Al –Asyi ( artinya : Qanun Atjeh, sebab dala bahasa Arab sebutan Atjeh disebut dengan Asyi ) merupakan hal yang sangat mendesak agar tidak semraut dalam memahami sejarah perundang-undangan Kesulthanan yang sebagian isinya yang masih relevan bias di adopsi dan dilestarikan.

Menurut Prof. A.Hasyimy, Qanun Meukuta Alam berisi berbagai ketentuan bagi Kerajaan Atjeh Darussalam :
1. Dasar dan rukun ( ketentuan ) Negara dan sistim Pemerintahan.
2. Sumber hokum dan jenis hokum yang berlaku dalam kerajaan.
3. Pemerintah pusat dan pembagian wilayah-wilayah Negara.
4. Lembaga-lembaga Negara di tingkat pusat beserta tugas dan wewenangnya
5. Nama-nama dan gelar jabatan bagi pejabat tinggi tingkat pusat.
6. Syarat-syarat menjadi Sulthan, Mentri,Qadhi dan pejabat tinggi lainnya.
7. Hak-hak warga Negara dan hubungannya dengan Negara.
8. Susunan pemerintah daerah dan tugas-tugas pejabatdaerah.
9. Tata cara pengangkatan Sulthan.
10. Organisasi angkatan perang dan gelar-gelar para perwira tinggi dan menengah
11. Negara dalam keadaan perang.
12. Peraturan dasar tentang perdagangan dalam dan luar negeri.
13. Syarat keadilan pemerintah dan ketaatan rakyat.
14. kecuali itu, Qanun Meukuta Alam juga menetapkan beberapa garis pokok tentang tata cara bagaimana seharusnya Sulthan dan para pejabat tinggi lainnya menjalankan pemerintahan ( A.Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, penerbit Beuna-Jakarta, 1983, hal : 346 ).

Tuanku Abdul Jalil ( pernah diterbitkan oleh puas dokumentasi dan informasi Aceh, 1991) yang merupakan penyusunan kembali dari buku “ Susunan Pemerintahan Semasa Sulthanah Atjeh “ yang merupakan terjemahan Aboe Bakar dari buku karya K.F.H.van Langen yang berjudul “ De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sulthanaat “ terbit tahun 1888. Pada edisi kedua Tuanku Abdul Jalil berupaya menjelaskan istilah-istilah pangkat, gelar dan jabatan perangkat kerajaan Atjeh yang tercantum dalam Adat Meukuta Alam, sehingga mudah dipahami pembaca.
Dari kata pengantar sudah dijelaskan, bahwa naskah Adat Meukuta Ala mini sama sekali tidak lengkap (utuh). Pasalnya karma naskah ini berasal dari sisa-sisa pertempuran yang dahsyat. Ketika Belanda dapat menduduki Masjid Indrapuri tahun 1879, di antara naskah – naskah yang berserakan, ditemukan naskah Adat Meukuta Alam yang tidak lengkap lagi. Dan perlu diketahui bahwa setahun sebelumnya yaitu tahun 1878, Sulthan Muhammad Daud Syah yang merupakan Raja Atjeh terakhir dilantik menjadi sulthan di Masjid Indrapuri .

Jadi walaupun sudah diterbitkan buku yang berjudul Adat Meukuta Alam, tapi itu merupakan saduran yang berulang kali dari naskah asli yang tidak lengkap. Saduran pertama ke bahasa Belanda, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini kita tetep belum mendapatkan naskah asli Qanun Meukuta Alam yang utuh ( lengkap ).
Salah satu solusi yang mungkin ditempuh untuk mencari naskah asli Qanun Meukuta Alam adalah dengan mencetak ulang buku-buku lama yang pernah diterbitkan tempoe doeloe. Buku-buku tempoe doeloe yang membahas tentang Atjeh biasanya penjelasannya amat teperinci. Bacalah buku-buku yang ditulis ( kalau masih ada anda miliki…) oleh Dada Meuraxa, H.M Zainuddin, M.Joenus Djamil, pasti akan terlihat bahwa mereka amat menguasai dan mengerti masalah yang sedang ditulis. Maka dengan beredarnya kembali buku-buku ini, masyarakat luas, baik yang berada di Atjeh atau dimana saja akan mengetahui betapa pentingnya naskah Qanun Meukuta Alam bagi penyusunan kembali perundang-undangan di Atjeh.
Cara lain dapat ditempuh juga dengan menyebarkan iklan kepada media massa yang terbit di Negara-negara yang tercakup dalam dunia Melayu bahwa masyarakat Atjeh sedang mencari naskah Qanun Meukuta Alam dan akan membayar dengan bayaran yang menggiurkan ( kayak dinasty Abbasyiah aja nich….). Bukan mustahil masyarakat di dunia Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Pattani ( Thailand), Campa ( Kamboja), Philipina Selatan dan lain-lainnya masih menyimpan masih menyimpan naskah tersebut, karma Qanun Meukuta Alam tertulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Jawoe ( Jawi). Bahkan dalam sebuah literature disebutkan bahwa Sultan Hasan dari Brunai Darussalam pada abad 18 secara terang-terangan menyatakan bahwa ia mengambil pedoman pemerintahannya dari naskah Adat Meukuta Alam Atjeh.
Memang pernah terjadi bahwa naskah-naskah lama ( manuskrip ) bukan dijumpai kembali di wilayah asalnya, tetapi di daerah lain, bahkan di seberang lautan. Hikayat Raja-raja Pasai dan Adat Atjeh merupakan contoh kongkrit. Hikayat Raja-raja Pasai yang merupakan bukti satu-satunya tentang kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, naskahnya dijumpai diwilayah Bogor Jawa Barat. Pemiliknya Kiai Suradimenggala, mantan Bupati Demak. Atas inisiatif Thomas Stamford Raffles, Wakil Gubernur Jenderal Inggris di Jawa saat itu untuk membayar orang untuk menyalinnya. Setelah ia meninggal, istrinya menyerahkan naskah itu ke perpustakaan Royal Asiatic Society di London tahun 1830. Tidak lama kemudian, sarjana Perancis E. Delaurier melakukan pengkajian terhadap naskah tersebut, selanjutnya diterbitkan di Paris pada tahun 1848. Buku terbitan itulah yang sampai ke Atjeh, sehingga kita dapat membaca sejarah kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, baik dalam huruf latin, maupun huruf Arab Jawoe ( Jawie ).

Begitu juga dengan Adat Atjeh, semula naskah beraksara jawoe itu tersimpan di Perpustakaan/ India Office Library di London Ingggris. Kemudian atas usaha Sarjana Belanda G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve yang melakukan pengkajian, kemudian mereka menerbitkan dalam Jurnal “ Verhandelingen “ no 24 di Denhage, Belanda pada tahun 1958. Buku / Jurnal terbitan negeri Belanda itulah yang beredar di Atjeh. Menariknya, selain pembahasannya dalam huruf Latin, jurnal ini juga melampirkan uraian asli dalam Aksara Arab Jawoe ( Melayu ).
Memang benar kata pepatah Atjeh “ Meunyoe Tatem Peulaku, Boh Labu Jeut Keu Asoe Kaya, Meunyoe Han Tatem Peulaku, Aneuk Teungku Jeut Keu Beulaga…..”


By : B@ng Dhien 09



selengkapnya...klik di sini.....

Wednesday, January 21, 2009

Sedikit Bercerita Tentang Acheh

Acheh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang ‎merdeka dan berdaulat. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Acheh telah ‎mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama ‎karena kemampuannya sebagai pembina peradaban bangsa-bangsa di kawasan ‎Dunia Melayu;‎
Memang benar, sejak tahun 1411, Acheh telah membina hubungan dagang ‎dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya bukti kukuh ‎mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA DONYA” ‎sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang ‎museum di Bandar Acheh.‎
Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan Acheh, pernah terjadi ‎peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan tentara Laut Cina ‎dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké, atau yang lebih ‎dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga dikenal sebagai ‎seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa Mukim di ‎Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh yang ‎dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini ‎akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku ‎pada tahun 1400-an.‎
Kejayaan Acheh mencapai puncaknya pada abad ke-16-17. Untuk melihat ‎bagaimana kemegahan itu, patut disimak ucapan Prof. Wilfred Cantwell Smith, ‎dalam bukunya: Islam in Modem History, 1975, p.38, berkata: ‘Pada abad ke-‎‎16,‘Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh ‎kebesaran. Orang-orang Islam pada masa itu di Maroko, Istanbul, Isfahan, Agra ‎dan Acheh - adalah pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat berhasil”.‎
Ucapan Wilfred sangat beralasan sekali, sebab Acheh dalam sejarahnya telah ‎berhasil memukul mundur kekuatan Portugis (yang ketika itu merupakan negara ‎terkuat di dunia) dari Selat Melaka yang ingin menjarah ke seluruh kepulauan ‎Melayu. Kejadian ini dilukiskan dalam LA GRAND ENCYCLOPEDIE bahwa: ‎‎“Pada tahun 1582, bangsa Acheh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-‎pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo dan lain-lain), atas sebagian dari Tanah ‎Semenanjung Melayu, danbmempunyai hubungan dengan segala bangsa yang ‎melayari Lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang ‎lama sekali dilancarkan oleh bangsa Acheh terhadap bangsa Portugis yang ‎menduduki Melaka sejak permulaan abad 16, adalah halaman-halaman yang ‎tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada ‎tahun 1586, seorang Sultan Acheh menyerang Portugis di Melaka dengan ‎sebuah Armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.”‎
Serangan ini adalah dalam upaya membela maruah, mempertahankan ‎kedudukan dan wibawa bangsa-bangsa Melayu baik di Sumatera maupun di ‎Semenanjung. Diketahui bahwa antara tahun 1547,1568,1579,1586 dan 1629 ‎adalah merupakan masa-masa yang sangat kritikal dalam usaha menentukan ‎siapa pemenang dalam perang panjang dan meletihkan itu. Panglima perang ‎Portugis, Diego Lopez de Fonesco, telah berhasil dibunuh oleh pasukan elite ‎tentara Acheh. Benteng pertahanan Portugis, Gereja Sint John, yang oleh ‎Melayu lebih dikenali sebagai Sang Yoang dan Gereja Madre de Dios, telah ‎sepenuhnya dikuasai. Benteng pertahanan terakhir ialah Gereja Sint Paul Hill, ‎atau lebih tenar dengan sebutan “Formosa” (yang menang). Dalam benteng ini ‎Portugis terkurung dan bertahan. Kota Melaka selama 5 bulan sudah berada ‎dalam genggaman tentara Acheh. Bagaimanapun ketika itu Portugis berhasil ‎mengirim kurirnya untuk meminta bantuan dari Sultan Pahang. Akhimya tentara ‎Pahang berkomplot dengan Portugis menyerang tentara Acheh me1alui laut. ‎Kapal-kapal perang Acheh di pantai dibakar oleh tentara Pahang-Portugis, ‎hingga peperangan ini terjadi satu lawan satu.‎
Untuk dimaklumi bahwa: “sekutu yang amat diandalkan Portugis pada waktu itu ‎ialah Sultan Pahang. Pahang yang dahulu pernah diserang dan ditakluki oleh ‎Acheh, tidak merasa senang jika Acheh menguasai tanah Melayu. Portugis bagi ‎Pahang adalah sandaran kuat, sebagaimana Belanda jadi saudara Johor, dan ‎sewaktu-waktu Pahang dan Johor pernah diperintah oleh satu Sultan”. Prof. Dr. ‎Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1981, hlm 177, Pustaka Kuala Lumpur.‎
Tidak lama kemudian datang pula tambahan kekuatan tentara upahan Portugis ‎dari Johor, Jawa, Goa dan India. Kemenangan dan kekalahan silih berganti ‎antara dua kekuatan ini. Itulah sebabnya Portugis menyebut Gereja Sint de Hill ‎sebagai “Formosa”. Alkisah menceritakan bahwa, Melaka pada akhimya takluk ‎kepada Portugis sampai tahun 1641, sementara Acheh Sumatera selamat dari ‎penjajahan Portugis. Terlalu mahal harganya bangsa Acheh membayar untuk ‎mempertahankan maruah bangsa Melayu, khususnya di Semenanjung. Sebab ‎jika tulang-belulang 60.000 tentara Acheh dijadikan tiang, maka ianya dapat ‎memagari seluruh pantai Semenanjung tanah Melayu.‎
Riwayat seterusnya mengisahkan bahwa, ketika pasukan Belanda melakukan ‎kudeta kepada Sultan Acheh, yang dipimpin oleh Comelis de Houtman dan ‎Frederick de Houtman pada tahun 1599. Tentara Acheh ketika itu dapat ‎melumpuhkan kekuatan armada Belanda dan Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-‎‎1604) yang berkuasa ketika itu, telah menjatuhkan hukuman bunuh kepada ‎Comelis de Houtman yang dieksekusi langsung oleh Laksamana Malahayati ‎dengan rencongnya sendiri, sementara saudaranya, Frederick de Houtman ‎ditawan beserta dengan seluruh anak buahnya sebagai tahanan perang, yang ‎masing-masing dijatuhi hukuman selama sepuluh tahun. Baca “Oede Glorie”, ‎karangan Marie C. Van Zegelen.‎
Kejadian ini dilaporkan Sultan Acheh kepada Kerajaan Belanda. Sehubungan ‎dengan peristiwa itu Kerajaan Belanda telah mengirim surat permintaan ma’af ‎secara resmi. Dalam kasus ini, Sultan Acheh telah berlaku arif dan bijaksana ‎dengan membebaskan dan semua tahanan pulang dan diserahkan oleh Tengku ‎Abdul Hamid, Duta besar Acheh di negeri Belanda.‎
Selain daripada itu, dalam sejarahnya Acheh memberi kebenaran kepada kapal-‎kapal dagang dan perang Perancis yang dipimpin oleh Panglima perang ‎Beaulieu, untuk menggunakan Pelabuhan Acheh sebagai pangkalan untuk ‎memperbaiki kapal-kapal yang rusak.‎
Dalam lapangan diplomatik dan perdagangan, Acheh juga telah mencatat ‎sejarah yang sangat penting, sebab Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) ‎menyadari akan arti pentingnya kedudukan dan peranan Selat Melaka sebagai ‎satu-satunya lintasan dagang yang paling ramai di dunia. Maka Kerajaan Acheh ‎telah membuat perjanjian mengenai: Jaminan Keamanan, Cukai dan Peraturan ‎Lalu Lintas Dagang di Selat Melaka, dengan Kerajaan Inggeris, pada tahun ‎‎1603. Perjanjian tersebut telah diperbaharui kembali tahun 1819, atas ‎pertimbangan politik dan ekonomi pada kurun masa itu yang lebih menekankan ‎kepada pertahanan keamanan di Selat Melaka. Ini suatu petunjuk bahwa ‎Kerajaan Acheh mempunyai pengaruh dan peranan dalam menentukan strategi ‎ekonomi dan militer di Selat Melaka, sebab diketahui bahwa Sumatera ‎sebenarnya sangat mahal nilainya berbanding pulau-pulau lain di kawasan Dunia ‎Melayu. Untuk melihat bagaimana kuasa Acheh pada masa itu terbukti bahwa ‎ketika Belanda ingin membuka Konsulatnya di Padang Minangkabau, Belanda ‎mesti meminta izin dari Sultan Acheh.‎
Seperti telah ditulis oleh seorang ahli sejarah Perancis bahwa: “Pada abad ke ‎‎17, Sultan Achehlah yang berdaulat atas seluruh pulau Sumatera dan tidak ada ‎sanggahan atas kenyataan itu dari pihak manapun juga. Acheh tidak memerintah ‎langsung seluruh Sumatera tetapi yang diperintah langsung ialah tepi pantainya ‎dan perdagangannya. Menurut Beaulieu, Acheh memerintah langsung separuh ‎pulau Sumatera dan yang terkaya yang lain di bawah kerajaan-kerajaan yang ‎dilindungi Acheh. Dan di Semenanjung Tanah Melayu kerajaan dibawah ‎lindungan Acheh ialah Kedah, Pahang dan Perak”. Denys Lombard, Le Sultanat ‎d‘Atjèh au Temp d’Iskandar Muda, p.98.‎
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan Ilmu Agama, Acheh telah ‎melahirkan beberapa Ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan ‎utama dalam bidang masing-masing, seperti:‎
Hamzah Pansuri (1575-1625) dalam bukunya “TABYAN FI-MARIFATI AL-U ‎ADYAN”,‎
Syamsuddin al Sumatrani (1630) dalam bukunya “MI’RAJ al-MUHAKIKIN AL-‎IMAN=‎
Nuruddin Arraniry (1658) dalam bukunya “SIRAT AL-MUSTAQIM- BURTANUS ‎AL-SALATIN”;‎
Syeh Abdul Rauf Singkili (1693) dalam bukunya “MI’RAJ AL TULABB FI ‎FASHIL”,‎
‎“MA’RIFAT AL-AHKAM ‘ASH-SHAYYAH LI MALI AL WAHAB” DAN “UMDAT AL ‎MUHTAJlM’“’‎
Pada masa itu bangsa-bangsa di kawasan dunia Melayu telah memakai ‎perundangan Acheh -Qanun Al Asyi- di Brunei Darussalam dan di Kerajaan ‎Melayu Borneo. Antara Acheh dengan bangsa Melayu yang lain saling ‎mempunyai ikatan kultural, agama dan adat-istiadat. Kerukunan antara sesama ‎serumpun begitu mesra dan harmoni, khususnya antara Acheh dengan ‎Semenanjung Malaysia, apalagi: “setelah dinobatkannya Iskandar Sani (Putra ‎Raja Pahang yang diambil menantu oleh Iskandar Muda) menjadi Sultan Acheh ‎sesudah mangkat Iskandar Muda (1636) membuatnya menjadi simbol yang ‎hidup dari kerukunan antara Acheh dengan Semenanjung Tanah Melayu yang ‎sangat menguatkan silaturrahim antara Acheh dengan Raja-raja Tanah Melayu. ‎Pada tahun 1638/1639, menurut Kitab Bustanus-Salatin, Iskandar Sani mengirim ‎Armada besar bukan untuk berperang tetapi untuk membawa batu-batu nisan ‎dari pualam berukir yang dibuat di Acheh untuk menghiasi makam-‎makam/kuburan Ayahanda/ibunda dan keluarga di Pahang. Perintah Sultan ‎Iskandar Sani kepada armada Acheh: ‘Pergilah ke Pahang dan hiasilah makam ‎Ayahanda/ibunda kami dan
kerabat dengan batu-batu nisan itu diangkut dengan arakan-arakan megah ‎sepanjang jalan, diiringi oleh pasukan musik di bawah ratusan payung dan ‎kibaran bendera Acheh. Perarakan itu memakan masa berbulan dalam ‎perjalanan.‎
Selama masa Iskandar Sani, hubungan Acheh dengan Semenanjung Tanah ‎Melayu amat harmonis sekali dan tidak pernah dikirim tentara dan armada untuk ‎mengamankannya. Hubungan baik antara Tanah Melayu dengan Acheh yang ‎dijalin semasa Iskandar Sani kekal beberapa abad lamanya” Denys Lombard. Le ‎Sultanat d’Atjèh au Temp d’Iskandar Muda p.94.‎
Sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat, Acheh selalu dipandang oleh ‎bangsa asing khususnya Inggeris dan Belanda yang mempunyai kepentingan ‎politik dan ekonomi di Sumatera- tetap memelihara hubungan baik dengan ‎kerajaan Acheh. Hal ini ditandai dari isi Traktat London, tahun 1824 yang antara ‎lain menyebut : Belanda dan Inggeris tetap tidak akan mengganggu gugat ‎kedudukan Acheh di Sumatera dan hubungan baik selama ini terbina tetap ‎dikekalkan.‎
Akan tetapi formula traktat London, 1824, dimana Belanda mengambil alih kuasa ‎Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya merasa tersekat dengan ‎peranan dan kedudukan Acheh yang kuat di Sumatera. Sejak itulah Belanda ‎sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Acheh.‎
Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak, tahun 1858, keadaan ‎sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya perjanjian ini, maka ‎Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan Utara Sumatera tunduk ‎kepada Belanda. Karena itu Sultan Acheh menjawabnya dengan mengirimkan ‎kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat Melaka untuk ‎memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di Sumatera. ‎Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan ‎perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan ‎Acheh. Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti ‎memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Acheh dan hasil bumi Deli ‎hanya dapat diperjual belikan antara Sultan Deli dengan Belanda.‎
Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, sudah ‎membuat rencana untuk melakukan serangan kepada kesultanan Acheh, akan ‎tetapi ramai penasehat militer dan sipil Belanda melarang, kalau bisa jangan! ‎Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang. Gubernur Jenderal Hindia ‎Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah kekuasaan kita di ‎Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah untuk diawasi. ‎Memperluas wilayah kekuasaan, sama artinya dengan menambah runyam dan ‎dapat menghancur masa depan kita di wilayah Hindia Timur”. ‎
Bahkan Multatuli sempat mengirim surat kepada Raja Belanda, katanya: ‎‎“Gubernur-Jenderal dan Paduka yang Maha mulia sudah siap sedia, pada saat ‎ini, untuk menyatakan perang kepada Sultan Acheh, dengan alasan pura-pura ‎yang dicari-cari dan diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar ‎yang dikarang-karang, sebagai ‘provokasi’ semata-mata. Pernyataan perang ‎atas kerajaan Acheh itu dengan niat untuk merampas kedaulatan dari Sultan ‎Acheh dan merampok segala harta pusakanya. Paduka Yang Mulia, ini adalah ‎perbuatan yang tidak membalas budi, yang tidak bersifat mulia, yang tidak ‎mempunyai kehormatan, dan yang tidak patut” October, 1872 (Paul Van ‘t Veer, ‎Atjéh Oorlog, p 39.‎
Untuk melicinkan niatnya, Belanda mengajak Inggeris untuk menanda tangani ‎suatu perjanjian dengan Inggeris yang isinya: bekas jajahan Belanda di Afrika ‎‎(Gold Coast -sekarang Ghana) diserah kepada Inggeris dan jajahan Inggeris di ‎Sumatera diserah kepada Belanda. Untuk mengusasi seluruh Sumatera jika ‎perlu Belanda akan, memerangi Acheh. Perjanjian ini ditanda tangani tahun ‎‎1871. Ketika itu seorang anggota Parlemen Inggeris Lord Standley Aderley, ‎seorang bangsawan Inggeris telah membantah dan menolak isi perjanjian itu. ‎Katanya: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk ‎menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang ‎Belanda sudah menyerang Negara Acheh, dan digagalkan. Kejatuhan Acheh ‎akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia ‎Tenggara; kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara ‎dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah ‎sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan Belanda ini ‎bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tetapi juga merusakkan ‎kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja ‎berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda ‎dari perbudakan -Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji’- sehingga tidak ‎ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong ‎meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya ‎mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Acheh, sebab Negara Acheh berhak ‎mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbalaka, ‎dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi suatu Negara ‎merdeka ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol”‎
Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa anggota ‎Parlemen Inggeris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang antara Acheh ‎melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah menjawab dalam Surat ‎kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Katanya: “Perjanjian Belanda-Inggeris ‎tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggeris dari ‎kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian ‎Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa ‎dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian ‎yang sudah ditanda tangani itu” (THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)‎
Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah ‎mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris ‎yang sudah dikhianati itu: “Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam ‎perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini ‎sebagai basis operasi menyerang Acheh. Jadi Inggeris bukan saja tidak ‎membantu Acheh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia ‎memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Acheh. Sudah ‎pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan ‎Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam ‎perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda ‎menundukkan Acheh. Walaupun demikian masih banyak orang menyangka ‎bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan ‎menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan ‎Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi ‎kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.‎

‎“Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab ‎semuanya adalah terang-benderang. Inggeris terikat dengan Perjanjian ‎Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord Granville berusaha ‎menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama ‎negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. ‎Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah ‎hilang perasaan kehormatannya”.‎
Belanda beranggapan bahwa bangsa Acheh mempunyai mentalitas yang sama ‎dengan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu, dan tetap akan memerangi Acheh, ‎sebab satu-satunya bangsa di Sumatera yang tidak pemah menjadi bahagian ‎dari Nederland East Indie kini mesti ditakluki. Maka pada 26 Maret, 1873, ‎Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, menyatakan Perang kepada ‎Sultan Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:‎
Acheh menyerah kalah dengan tanpa syarat;‎
Turunkan Bendera negara Acheh dan kibarkan benderra Belanda warna merah, ‎putih biru;‎
Hentikan perbuatan melanun di Selat Melaka;‎
Serahkan kepada Belanda sebahgian Sumatera yang berada dalam lindungan ‎Sultan Acheh;‎
Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.‎
‎“Ultimatum” yang dihantar oleh Sumo Widigdjo -manusia Jawa sontoloyo- ini ‎ditolak mentah-mentah oleh Sultan Acheh, maka terjadilah perang melawan ‎Belanda pada 4 April 1873.‎
Bagaimana peperangan itu terjadi, sudahpun ditulis oleh LONDON TIMES, pada ‎‎22 April 1873 sebagai berikut: “Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah ‎penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang ‎besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Negara Acheh. Bangsa ‎Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan ‎saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”‎

Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis: “Suatu pertempuran ‎berhunur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis ‎dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima ‎Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda ‎itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat ‎dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen ‎sudah menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari ‎kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur”‎
Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis ‎bahwa: “Now the Achehnese aducation of the present generation of Christendom ‎may be said to have fairly begun”‎
Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah yang ‎dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam rangka ‎menyambut kemenangan tentara Acheh melawan serdadu Belanda dalam ‎perang Acheh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu Acheh memang ‎sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16-17.‎
Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali menyerang dengan ‎mengerahkan serdadu upahannya dari jawa, Madura, Sunda dan MaIuku, serta ‎menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Perancis dan termasuk penjahat ‎dari Afrika untuk dikerah untuk mempertaruhkan nyawa mereka di Acheh.‎

Setelah terjadinya perang priode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak ‎berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Acheh tahun 1942. ‎Belanda keok di Acheh!‎
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu ‎nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana perang ‎yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua ‎perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar ‎sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam ‎sejarah kedua negara.‎
Bagi Belanda segalanya sudah serba tidak menjadi. Seorang penulis sejarah ‎Belanda mengatakan: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah ‎menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan ‎Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan ‎puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini ‎adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah ‎bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih ‎daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik ‎internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda” Paul Van ’ t Veer, De ‎Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p. 10.‎

Bangsa Acheh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, ‎sebab bangsa Acheh memandang perang melawan Belanda sebagai perang ‎suci - jihad fisabilillah - yang bermakna orang Acheh akan berlomba-lomba untuk ‎mati syahid menggempur musuh yang diransang dengan aqidah Islam yang ‎sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah ‎melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya. Para ‎Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Thjik di Tiro ‎Muhammad Saman telah memimpin peperangan ini dan diikuit oleh bangsa ‎Acheh serta famili di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro ‎yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhôt, Pidië, tahun 1911.‎
Perang terus merebak ke seluruh Acheh. Tengku Mata Ië bersama pasukannya ‎berjuang di sektor Acheh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya berjuang di ‎sektor Timur; Tengku Paja di Bakông bersama pasukannya berjuang di sektor ‎Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya berjuang di sektor ‎Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masém berjuang di sektor ‎Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor Tenggara. ‎Akhimya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Acheh dalam keadaan ‎hina. Semestinya Acheh sudah merdeka. Akan tetapi bangsa Acheh sekali lagi ‎hams berhadapan melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1945, giliran Jepang ‎pula angkat kaki dari bumi Acheh. Jadi Acheh otomatis sudah merdeka, apalagi ‎Belanda, tidak pernah berani lagi masuk ke Acheh pada ketika itu walaupun ‎seluruh wilayah Nederland East Indie” telah dikuasai kembali pada tahun 1946-‎‎1948. Keadaan di Acheh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda. ‎‎“sedudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Acheh, pada ‎ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera ‎diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Acheh. Di bagian ‎satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah ‎menjadi kenyataan. Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal. 254.‎
Bahkan secara jujur dikatakan bahwa: “Acheh bukan Jawa. Sebenarnya sudah ‎terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan tidak ‎berketentuan disebut Hindia Belanda (“Indonesia”) tidak ada suatu kerajaan yang ‎dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini. Suatu peperangan ‎yang lamanya lebih dari setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah ‎milyar Belanda abad ke 19 yang mahal itu sudah menjadi bukti dari hal ini. Kita ‎sudah tahu sekarang, tetapi kita tidak tahu itu di tahun 1873. Biarlah kenyataan-‎kenyataan ini tegak berdiri -jangan disembunyikan- supaya orang-orang di negeri ‎Belanda, atau lebih-lebih lagi di Jawa dapat mengetahui, manusia yang ‎bagaimana bangssa Acheh itu” (Paul Van ‘t Veer, De Atjeh Oorlog, p.76.‎
Dengan tidak disangka-sangka, terjadilah penyerahan kekuasaan dan ‎kedaulatan dari Belanda kepada pemerintahan Indonesia pada 27 Desember, ‎‎1949. Dalam penyerahan itu dimasukkan juga Acheh menjadi salah satu bahgian ‎dari “Indonesia”. Padahal Acheh dalam sejarahnya tidak pernah menjadi bahgian ‎dari “Nederland East Indie” dan Belanda sendiri sudah 7 tahun angkat kaki dari ‎bumi Acheh. Penyerahan ini adalah perbuatan melawan hukum -illegal- dan ‎bertentangan dengan Hukum Intemasional dan Resolusi PBB. Mengapa Belanda ‎yang tidak mempunyai hak apapun terhadap Acheh, berani menyerahkan ‎kepada “Indonesia”-?. Inilah sebenamya akar konflik dan alasan sejarah yang ‎menyebabkan bangsa Acheh tetap memperjuangkan kemerdekaannya.Di ‎samping masalah ketidakadilan
Selain daripada itu, Kesultanan Melayu Daik Lingga dan sultan-sultan lain yang ‎berpusat di Riau, mempunyai sejarah yang juga mengagumkan. Sebab jika ‎berbicara tentang akar Bahasa dan peradaban Melayu, maka kita tidak terlepas ‎dari membicarakan bangsa Melayu di Riau: Dari sinilah cikal-bakal bahasa dan ‎peradaban Melayu bermula.‎
Meskipun kemudian bumi Riau kerap bertukar penjajah atau majikan, akan tetapi ‎ada yang paling membanggakan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, yaitu: ‎bahasa Melayu masih tetap bertahan sebagai satu-satunya bahasa resmi dan ‎belum tercemar atau lapuk karena perkembangan zaman. Bangsa Melayu Riau ‎tidak akan mau merubah bahasa, peradaban dan agamanya meskipun berada ‎dalam era globalisasi informasi. Bangsa Melayu Riau bukan bangsa Mesir. ‎Sebab di dunia ini yang pernah merubah bahasa dan agamanya adalah Mesir. “. ‎‎. . selama 2000 tahun terakhir, Mesir telah mengubah bahasanya tiga kali dan ‎agamanya tiga kali dan dalam kehidupan rakyat, tidak ada yang lebih penting ‎daripada bahasa dan agama” Muhammad Heikal. Anwar Sadat: Kemarau ‎Kemerahan. Hal.50‎
Sekarang Riau lebih mencuat lagi namanya, karena kaya dengan hasil buminya: ‎Kelapa Sawit, getah bermutu tinggi, penghasil gas dan minyak mentah, ‎pengekport Papan lapis terbesar di dunia, hingga Riau telah dijuluki sebagai ‎negeri petro dollar.‎

Begitu juga Deli, bumi yang kaya dengan hasil bumi. Penjualan Tembakau Deli ‎suatu masa dahulu bersaing hebat dengan negara lain di Bremen, Jerman. Akan ‎halnya dengan Kelapa Sawit dan Getah merupakan hasil yang paling ‎membanggakan dari dahulu sehingga sekarang. Dalam sejarahnya, Deli selalu ‎menjadi rebutan penjajah. Ini satu isyarat bahwa Deli memang mempunyai nilai ‎tambah di Sumatera.‎
Selain itu Bangka Belitung juga tidak kalah megahnya, sebab negeri ini dalam ‎sejarahnya, sering disinggahi oleh kapal-kapal pedagang asing suatu masa ‎dahulu dan kini lebih dikenal sebagai penghasil Bawang putih, biji timah dan lain-‎lain.‎
Ranah Minang. Dalam sejarahnya, bangsa Minangkabau sudah mulai ‎mengamalkan pemerintahan yang bersendikan Islam sejak Sultan Alif berkuasa. ‎Dasar pemerintahan ketika itu diperkenal “HUKUM BERSENDIKAN SYARA’. ‎SYARA’ BERSENDIKAN KITABULLAH”. Yang dipertuan Agung di Ranah ‎Minang berpusat di Pagaruyung, yang terletak di Tanah Datar. Beratus-ratus ‎tahun Yang Dipertuan Agung berkuasa. Walaupun suatu masa dahulu terjadi ‎gelombang perpindahan yang besar dan beberapa kali dari ranah Minang ke ‎Tanah Semenanjung, khususnya ke Negeri Naning -Negeri Sembilan- Malaysia, ‎namun Yang dipertuan Negeri Naning tetap menghormati dan tunduk kepada ‎Yang Dipertuan Agung di Pagaruyung sebagai induk.‎
Kemudian terjadi pergolakan melawan penjajah asing. Bagaimanapun, bangsa ‎Minang dikenal gigih membela dan mempertahankan marwah bangsa dan ‎negaranya. Hal ini ditandai dengan peperangan melawan Belanda pada tahun 18 ‎‎17-l 837. Ketika Belanda menyerang kota Padang tahun 18 17, Bangsa ‎Minangkabau tidak mudah menyerah, walaupun kekuatan musuh pada ketika itu ‎sulit dilawan.‎
Perang melawan Belanda baru berhenti setelah seluruh bumi Minang ditawan ‎oleh Belanda dan perlawanan baru tamat setelah berakhir perang Padri tahun ‎‎1837, yang melibatkan kaum Ulama dan rakyat bersama-sama melawan ‎penjajah. Akan tetapi setelah pepmimpin perangnya -Imam Bonjol- dikhianati, ‎ditangkap dan ditawan dan diasingkan oleh Belanda ke Sulawesi, maka ‎perlawanan bangsa Minangpun terhenti. Dengan begitu, sejak tahun 1838, ‎Belanda sudah mulai mendirikan sekolahnya dan melakukan ‘brain washing’ ‎terhadap bangsa Minangkabau.‎

Di sini, ada hal yang istimewa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di kawasan ‎Dunia Melayu. Bangsa Minang dikenal sebagai suatu bangsa yang paling unik ‎tatanan masyarakatnya dalam rumpun bangsa Melayu, sebab sistem ‎kekeluargaan yang mereka amalkan berdasarkan sistem “Matrilinial” (dimana ‎kaum wanita lebih tinggi dan dimuliakan status sosialnya berbanding kaum ‎lelaki). Sistem kekeluargaan seperti ini kemungkinan besar dipercayai berasal ‎dari Kombodia yang merupakan asal-usul dari kehidupan Melayu tua yang ‎berpindah ke Sumatera. Salah satu Suku yang hidup di Kambodia memang ‎menerapkan sistem kekeluargaan Matrilinial dalam masyarakatnya. Diketahui ‎juga bahwa salah satu bangsa yang paling setia memelihara adat-istiadat adalah ‎bangsa Minangkabau. Bahkan menurut Zent Graaff, seorang penulis Belanda ‎menyifatkan bahwa “Minangkabau adalah bangsa yang paling kental rasa ke-‎Sumateraan-nya”. Ranah Minang sangat kaya dengan hasil bumi seperti ‎Batubara, balak, pupuk dll.‎
Demikian pula Palembang dan Lampung. Di sinilah pusat kerajaan Sriwijaya ‎yang sangat megah dan masyhur itu. Dalam sejarahnya yang panjang itu, ‎Palembang telah mengalami pasang-surut dalam percaturan politik nasional dan ‎Internasional. Dibayangi oleh kemegahan keberanian, bangsa Palembang telah ‎bertanmg melawan penjajah Belanda yang menyerang pada tahun 1821. ‎Diketahui bahwa serdadu Belanda pada awalnya mengalami kekalahan besar di ‎Palembang, mereka ramai yang mati terjerat dalam rawa-rawa. Namun pada ‎akhirnya perang melawan Belanda perlahan-lahan redup dan terhempas dalam ‎pelukan penjajah.‎
Persoalannya sekarang. Mengapa penjajah Belanda begitu bernafsu terhadap ‎Sumatera? Sehingga mereka berani mempertahukan segala-galanya? Jawabnya ‎sudah tentu: “Saya tahu harganya Sumatera, dengan luas wilayahnya yang tak ‎terhingga, yang membolehkan perluasan perusahaan-perusahaan kita dengan ‎tiada batas sambil memperkuat kedudukan kita di daerah-daerah yang sudah ‎kita kuasai untuk memeras kekayaannya secara yang lebih menguntungkan kita ‎lagi. “Jawa tenggelam dengan tidak berarti sama sekali jika dibanding dengan ‎Sumatera, atau hal itu sebenarnya sudah terjadi sekarang juga…” Multatuli, 27 ‎Februari, 1872.‎
INILAH HARGA SUMATERA. Akan tetapi seperti sudah dikatakan bahwa: harga ‎SUMATERA bukan harga material semata-mata. “Harga Sumatera bukanlah ‎ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan Sumatera, akan tetapi berapa ‎harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya.”‎
Jadi, jika berbicara tentang Sumatera, maka kita tidak dapat mengetepikan dua ‎faktor penting yaitu: faktor konstan dan faktor variable yang langsung berhubung ‎kait dengan, keperluan dan kepentingan bangsa-bangsa Sumatera.‎
Pertama, faktor konstan dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera, yaitu: Bumi ‎Sumatera dan Selat Melaka yang paling penting maknanya. Selat Melaka ‎merupakan poros perdagangan penting yang menuntut perlu adanya kekuatan ‎pertahanan keamanan dari ancaman musuh. Sumatera dan Selat Melaka selalu ‎dipandang strategik dalam konteks politik, ekonomi dan pertahanan, lebih ‎daripada itu ialah untuk menjaga kepentingan nasional bangsa-bangsa Sumatera ‎dan di Semenanjung, sehingga pada akhirnya menjadi suatu dunia yang selamat ‎dan harmoni.‎
Faktor variable dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera ialah: semua konsep ‎yang datang dari luar, seperti:.* “cultural imperialism”, capitalism”, colonialism”, ‎‎“salvation”, “paganism”, “democratic way of life“, “Christian” dan “Javanism” yang ‎telah mempengaruhi dan mengancam nilai-nilai peradaban kultural dan ‎keagamaan bangsa-bangsa Sumatera. Secara mendetil perkara ini akan dibahas ‎dalam satu bab tersendiri.‎
Era Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau ‎bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia ‎sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-‎Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera ‎berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik Al Saleh yang ‎meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada ‎tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu daripada Malik ‎Al Saleh.‎
Lahirnya Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra ‎dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang ‎Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan ‎kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan ‎daerah Jawa Barat didudukinya Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak ‎kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di ‎India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 ‎lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.‎
Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu ‎India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ‎ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap ‎kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini ‎lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik ‎Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir.‎
Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada
Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja ‎Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada ‎menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.‎
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ‎ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan ‎menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan ‎kerajaan Majapahit". Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah ‎Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera ‎Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ‎menggempur Samudera Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada ‎tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya ‎sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.‎
Era Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. ‎Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh ‎di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh ‎mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga ‎Perak.‎
Aceh juga merupakan suku bangsa pertama di pulau Sumatra yang memiliki ‎tradisi militer, dan pernah menjadi suku bangsa Adi Daya untuk wilayah regional ‎Selat Malaka (Sumatra dan Semenanjung Melayu).‎
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari ‎Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena ‎terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan ‎pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai ‎tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu ‎yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh ‎karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. ‎Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.‎
Lawan Portugis
Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan ‎Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul ‎dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam ‎dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai ‎pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan ‎armadanya menaklukan Malaka.‎
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan ‎Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin ‎‎(1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat ‎Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan ‎Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan ‎yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh SultAceh merupakan ‎negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah ‎asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar ‎Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat ‎Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.‎
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari ‎Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, ‎karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan ‎pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai ‎muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu ‎yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh ‎kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. ‎Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.‎
Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, ‎mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan ‎pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh ‎Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala ‎itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris ‎untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga ‎mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari ‎batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir ‎James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara ‎Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan ‎Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan ‎Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama ‎Meriam Raja James.‎
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah ‎mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. ‎Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan ‎utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. ‎Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah ‎di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya ‎meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan ‎dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda ‎belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara ‎agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat ‎sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard ‎suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.‎
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk ‎menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di ‎Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka ‎utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka ‎harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan ‎hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, ‎persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun ‎sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan ‎beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. ‎Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada ‎Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha ‎bintang jasa kepada Sultan Aceh.‎
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja ‎Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat ‎berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. ‎Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah ‎bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan ‎Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, ‎Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale ‎Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis ‎tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana ‎tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan ‎Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. ‎Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai ‎Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang ‎sambil menjamu tetamu-tetamunya.‎
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang ‎terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut ‎sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu ‎Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan ‎Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau ‎merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau ‎pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. ‎Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 ‎diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga ‎datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan ‎seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan ‎wanita di Aceh.‎
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan ‎kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima ‎Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III ‎di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan ‎kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala ‎itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur ‎tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.‎

Sultan-sultan Aceh ini. Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 ‎keadaan Aceh tenang.‎

Hubungan dengan Barat
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir ‎James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: ‎‎"Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan ‎yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di ‎Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah ‎kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga ‎termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas ‎yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya ‎Putih".‎
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat ‎Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal ‎tahun 1585:‎
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the ‎land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to ‎Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.‎
‎(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang ‎terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah ‎wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit ‎hingga matahari terbenam).‎
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja ‎James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam ‎sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat ‎dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.‎
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah ‎mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. ‎Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan ‎utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. ‎Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah ‎di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya ‎meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan ‎dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda ‎belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara ‎agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat ‎sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard ‎suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.‎
Ottoman

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk ‎menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. ‎Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh ‎terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit ‎demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada ‎akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya ‎tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik ‎hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap ‎dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ‎ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa ‎selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan ‎Aceh.‎

Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan ‎Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang ‎sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut ‎pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai ‎hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa ‎Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, ‎Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee ‎Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis ‎tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana ‎tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman ‎Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang ‎mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga ‎memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri ‎istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di ‎sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-‎tetamunya.‎
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang ‎terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut ‎sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu ‎Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan ‎Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau ‎merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau ‎pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. ‎Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya ‎adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang ‎fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang ‎wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di ‎Aceh.‎
Datangnya pihak kolonial
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal ‎abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania ‎Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa ‎menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu ‎kepada Britania Raya.‎
Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania ‎menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim ‎bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun ‎‎1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk ‎mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.‎
Perang Aceh

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan ‎karena:‎
‎1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana ‎Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada ‎Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah ‎kekuasaan Aceh.‎
‎2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana ‎isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang ‎batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis ‎lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.‎
‎3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal ‎Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini ‎disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.‎
‎4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan ‎Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.‎
‎5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, ‎Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di ‎Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda ‎mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di ‎Guinea Barat kepada Inggris.‎
‎6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik ‎dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke ‎Turki 1871.‎
‎7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di ‎Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. ‎Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya ‎datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang ‎apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak ‎untuk memberikan keterangan.‎
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah ‎melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 ‎serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, ‎namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan ‎Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri ‎berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.‎
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut ‎istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan ‎oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid ‎Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang ‎telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang ‎fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai ‎tahun 1904.‎
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan ‎kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima ‎Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III ‎di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan ‎kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah ‎mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan ‎dalam urusan Aceh dan Belanda.‎
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha ‎membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah ‎kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh ‎menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai ‎gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan ‎perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin ‎setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima ‎prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda ‎untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar ‎malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ‎ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang ‎mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak ‎Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri ‎Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.‎
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal ‎merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden ‎yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, ‎kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan ‎kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck ‎Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti ‎kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan ‎judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana ‎untuk menaklukkan Aceh.‎
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas ‎di Aceh adalah:‎
‎1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di ‎Keumala) beserta pengikutnya.‎
‎2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.‎
‎3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.‎
‎4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.‎
‎5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan ‎langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan ‎sosial rakyat Aceh.‎
Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada ‎‎1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, ‎dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri ‎Belanda), merebut sebagian besar Aceh.‎
Sultan M. Daud akhirnya Berdamai kepada Belanda pada tahun 1903 setelah ‎dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh ‎Belanda.Kemudian beliau ditangkap dan dibuang ke Batavia pada tahun 1904. ‎Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan ‎bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada ‎tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.‎

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan ‎marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang ‎telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya ‎Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.‎
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan ‎anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri ‎Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan ‎Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menemui Belanda pada tanggal 5 Januari ‎‎1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap ‎Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ‎ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan ‎beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata ‎dan bernegosiasi dengan Belanda di Lhoek Seumawe (1903). Akibat Panglima ‎Polem berdamai dengan Belanda, banyak penghulu-penghulu rakyat yang ‎mengikuti jejak Panglima Polem.‎
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang ‎dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti ‎pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang ‎terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.‎
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih ‎melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ‎ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.‎
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan ‎kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai ‎gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam ‎yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun ‎‎1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. ‎Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama ‎Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia ‎Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di ‎sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama ‎Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.‎
Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad ‎‎(parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. ‎‎(Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, ‎Moehammad Hasan).‎
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh ‎menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 ‎Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. ‎Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. ‎Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan ‎Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ‎ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. ‎Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, ‎dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan ‎di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.‎
Masa Republik Indonesia
Aceh Tidak Termasuk Anggota Negara-Negara Bagian RIS?‎
‎41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia ‎diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata ‎perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van ‎Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS ‎‎(Republik Indonesia Serikat).‎
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan ‎Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari:‎
‎1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.‎
‎2. Negara Indonesia Timur.‎
‎3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta‎
‎4. Negara Jawa Timur‎
‎5. Negara Madura‎
‎6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan ‎Labuhan Batu
‎7. Negara Sumatra Selatan‎
‎8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-‎Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah ‎Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.‎
‎9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan ‎Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 ‎Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk ‎jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana ‎Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.‎
Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh?‎
Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri ‎Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta ‎membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh ‎Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember ‎‎1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan ‎RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan ‎Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu ‎upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan ‎kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, ‎‎1986)‎
Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan ‎Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang ‎Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang ‎Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada ‎tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST ‎‎(Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).‎
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan ‎Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik ‎Indonesia hasil panitia bersama.‎
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, ‎Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan ‎Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya ‎untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan ‎Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat ‎Negara RI, 1986)‎
Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh
‎3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh ‎memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada ‎tanggal 20 September 1953.‎
Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam ‎Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila ‎di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.‎
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk ‎bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:‎
‎1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah ‎memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan ‎kesedjahteraan Negara.‎
‎2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan ‎sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.‎
‎3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti ‎biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.‎
‎4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, ‎mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan ‎sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang ‎melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.‎
‎5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah ‎kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.‎
‎6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, ‎jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama ‎jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat ‎dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami ‎serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta ‎laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.‎
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.‎
MUHARRAM 1373‎
Atjeh Darussalam
September 1953‎
Desember 1962, Daud Beureueh Menyerah Kepada Penguasa Daulah Pancasila
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam ‎NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh ‎kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh ‎di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan ‎‎"Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam ‎I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, ‎Sekretariat Negara RI, 1986)‎
selengkapnya...klik di sini.....

Wednesday, November 26, 2008

Ajimat ( Rante Bui )

Pada tanggal 2 Juli 1905, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Terwogt berhasil menembak Teungku Cot Plieng di Hulu Krueng ( Sungai ) Tiroe, sehingga beliau Syahid. Pada manyat beliau ditemukan Ajimat ( Ubat Keubai ) berupa Rante Bui, Aneuk Beude ( Peluru ) dan Ulat Jeut. Ajimat ini ( Ubat Keubai ) merupakan batuan (fosil) yang terbentuk dalam rongga mulut babi hutan tertentu, ( babi kurus yang suka menyendiri dengan jalan terseok – seok ). Untuk memperoleh Rante Bui biasanya babi hutan tersebut ‘dipancing’ dengan setumpuk Keureumeuh “ Ampas Kelapa”. Babi tersebut menyimpan rantai tersebut di tempat tersembunyi sebelum memakan Ampas Kelapa yang diletakkan oleh orang yang hendak mengambil rantai tersebut .

Ajimat tersebut kini tersimpan di Koloniaal Musium, Amsterdam Belanda. Pada umumnya para pejuang Atjeh banyak memakai Ajimat dan Mengamalkan Isiem ( Mantra ) untuk ilmu kebal dalam rangka menghadapi tentara Belanda ( Marsose ) yang dikenal cukup kejam dan sebahagian besar personilnya merupakan tentara yang di rengkrut dari tanah Jawa dan Ambon. ( Rampagoe Bg Dj )

selengkapnya...klik di sini.....

Saturday, November 15, 2008

SURAT - SURAT SULTHAN ATJEH DARUSSALAM

Banda Aceh - "Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang".

Demikian mukadimah surat yang ditulis Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris James pada tahun 1615 silam. Duplikatnya dapat dihihat perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.

Surat berbahasa Melayu dengan aksara Jawi ini disebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selain panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli ini ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas oriental.

Dari surat yang tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, jelas terekam kemegahan Kerajaan Aceh. Dan di bawah kekuasaan sultan yang berjuluk Sultan Perkasa Alam ini, Kerajaan Aceh memang mencapai puncak kejayaannya.

Disebutkan Prof Anthony Reid, sejarawan terkemuka, yang banyak menulis buku tentang Aceh dari National University of Singapore, sepanjang abad 16 hingga awal abad ke-19, Aceh telah memiliki hubungan diplomatik yang luas, sesuatu yang jarang dimiliki oleh sebuah kerajaan kepulauan.

"Aliansi luar biasa ini, pertama-tama merupakan hasil dari perdagangan lada yang secara langsung menghubungkan Aceh ke Laut Merah untuk menyaingi kapal lada bangsa Portugis di sekitar Afrika. Aliansi ini juga dalam rangka menggalang kekuatan sekutu-sekutu kaum muslim guna melakukan perlawanan militer dan keagamaan menentang Portugis," jelas Prof.Anthony Reid dalam pengantarnya di katalog pameran.

Aliansi ini berdasarkan surat-surat diplomatik, dibalas Turki dengan mengirimkan beberapa meriam besarnya ke Aceh. Meriam-meriam itu sendiri kini disimpan sebagai 'tanda mata perang' di Museum Bronbeek, Belanda.

Ditambahkannya, kebangkitan Aceh, salah satunya dipicu oleh rasa ketidaksukaan banyak saudagar muslim dan saudagar lainnya terhadap campur tangan Portugis pada urusan kerajaan mereka. Salah satunya adalah surat yang berbahasa Arab, besar kemungkinan adalah teks asli. Sayang, dokumen yang lain hanya tersedia dalam terjemahan Portugis.








Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari utara matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Nusantara pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Ottoman
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan Iskandar Tsani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Datangnya pihak kolonial
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditanda tangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang Aceh
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh. Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan.



Tradisi dayah (pesantren) di Aceh sudah sangat tua. Bahkan mungkin sama tuanya dengan proses penyebaran agama Islam di Aceh itu sendiri. Tercatat, ulama dayah di Aceh adalah peletak dasar sendi agama Islam di Aceh.
Hal itu bisa dirunut dari keberadaan dayah sebagai pusat pendidikan yang sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Islam Peurlak, Kerajaan Samudera Pasai, hingga masa Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Selain itu, dayah juga menjadi tempat untuk menjaga manuskrip dan kitab-kitab kuno yang langka. Misalnya di Zauyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang menyimpan sekitar 4.000 manuskrip. Berbagai macam kitab kuno tulisan tangan karangan ulama Aceh maupun sejumlah ulama dari luar Aceh menjadi koleksi pesantren ini.
Semasa Perang Atjeh, ribuan manuskrip dan kitab kuno ini sempat tersebar di berbagai pelosok Aceh. Manuskrip itu sengaja disembunyikan di rumah- rumah penduduk karena, saat itu, pemimpin Zauyah Tanoh Abee adalah penasihat Perang Atjeh yang diburu oleh Belanda.
Pascakemerdekaan, naskah kuno ini dikumpulkan kembali. Hingga kini terkoleksi cukup rapi di perpustakaan zauyah. Saat ribuan naskah kuno di sejumlah museum dan perpustakaan di Banda Aceh musnah akibat tsunami, koleksi manuskrip di Zauyah Tanoh Abee kian menemukan makna pentingnya.
Namun, perpustakaan kuno di Zauyah Tanoh Abee kini juga dihadapkan pada masalah biaya perawatan manuskrip. Akibatnya, banyak yang telah rusak karena dimakan waktu. Sebagian manuskrip juga telah luntur tintanya, tanpa sempat disalin atau dibuat mikrofilm-nya.
”Kami sekarang hanya bisa memberikan kapur barus untuk mempertahankan manuskrip ini. Tentu itu tidak cukup,” kata Tengku M Dahlan Al Fairussi Al Baghdadi (60), pemimpin generasi ke-9 di Zauyah Tanoh Abee.
Manuskrip kuno itu hingga kini masih menjadi kekayaan tersembunyi dari Zauyah Tanoh Abee, lantaran tak banyak yang memanfaatkan. ”Hanya ada sesekali peneliti dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Arab yang datang kemari. Suasana Aceh tak kondusif, tak banyak yang berani datang hingga ke pedalaman,” katanya.
Mengejar ketertinggalan
Kini, di tengah kondisi semacam itu, sebagian dayah mulai mencoba mengejar ketertinggalan dari laju modernitas dengan memasukkan peranti komputer. Sebagian memang hanya menjadikan komputer untuk mempermudah penyusunan administrasi kantor. Namun, sebagian mulai mengajarkan komputer sebagai bagian dari pengajaran.
Bahkan, Dayah Samalanga mulai merintis mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Agama, setelah sebelumnya mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Dan, ijazah sekolah tinggi dari Dayah Samalanga bisa digunakan untuk melanjutkan kuliah di IAIN Ar Raniry di Banda Aceh.
Sungguhpun begitu, arus informasi melalui berbagai media elektronik, seperti televisi, radio, dan internet di satu sisi masih disikapi sebagai momok bagi sebagian kalangan dayah. Kegelisahan seperti ini seolah menjadi pemicu semangat santri dan ulama dayah untuk kembali menegakkan fungsi dan peran dayah seperti pada masa kejayaannya dulu.
Mereka rata-rata mengaku tidak antimodernitas, namun tetap selektif untuk menyentuh produk-produk modernisasi itu. Tak heran jika banyak santri yang menggunakan telepon genggam dan memakai komputer. Tapi, jangan harap ada televisi di dayah. Salah satu ikon modernitas itu seolah menjadi barang haram di dayah.
”Televisi itu sumber kemungkaran, program-program yang disajikan di sana lebih banyak mudharat,” kata Tgk Ilyas, salah seorang santri muda Pesantren Tauthiatut Thullab. ”Para santri dilarang keras menonton televisi,” lanjut Ilyas.
Para ulama dan santri dayah kini memang seperti menghadapi suatu dilema. Mereka secara langsung berhadapan dengan modernitas, tetapi cara pandang mereka masih tradisional. Sampai kapan mereka akan bertahan?
Dari waktu ke waktu
Peran dayah dalam perjalanannya tidak hanya sebatas lembaga pendidikan keagamaan. Dayah juga menyentuh ranah sosial politik, bahkan lebih jauh menjadi tempat berlindung, dan menggembleng diri.
Pada masa Perang Atjeh, dayah malah sebagai tempat menyusun strategi. Sebagian dayah juga menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zauyah. Salah satu di antaranya adalah Zauyah Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tercatat pada masanya, dayah sanggup melahirkan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah. Salah seorang di antaranya adalah Tgk H Syeh Abdul Wahab yang menganut Tarekat Syathariah dan merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah pimpinan generasi kelima Zauyah Tgk Chiek Tanoh Abee yang menjadi penasihat Perang Atjeh, seperti diutarakan Tgk M Dahlan Al Fairussi yang kini menjadi pimpinan generasi kesembilan di zauyah tersebut.
Menurut Ensiklopedi Agama Islam (Departemen Agama, 1993), tercatat bahwa dayah tertua di Aceh adalah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga Hijriah. Dayah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang didatangkan dari Arab, Persia, dan India.
Menurut keterangan Tgk H Moch Dahlan, Cot Kala merupakan satu dari tiga zauyah, selain Zauyah Tanoh Abee pimpinannya dan Zauyah Bidal di Banda Aceh yang termasuk menjadi korban bencana tsunami pada akhir tahun 2004.
Setelah Cot Kala, generasi berikutnya adalah Dayah Kan’an di wilayah Lam Keuneu’eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh Hijriah oleh Syekh Abdullah Kan’an, penyebar Islam yang berdarah Palestina.
Dalam periode yang sama berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahaman, Banda Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tersebut, Jami’ Baiturrahman memiliki lebih dari 40 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India.
Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1.000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren-pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Namun, jumlah tersebut diakui tidak semuanya bisa dikategorikan dayah. Seperti dijelaskan oleh Tgk Taufik, Sekjen Thaliban (ikatan santri Aceh) Kota Banda Aceh, bahwa yang dikategorikan dayah adalah pesantren yang menyediakan pondokan atau bilik dan santri-santrinya menginap di sana. Sementara banyak balai-balai pengajian yang mungkin terkategorikan sebagai pesantren oleh Departemen Agama.
Jika pada masa kejayaan Islam dan masa konflik di Aceh peran aktif sosial politik dayah sangat kental, maka pada era setelah kemerdekaan peran dayah di kedua fungsi itu memudar. Kini, di era damai, dayah dihadapkan pada tugas berat untuk menjadi penjaga moral masyarakat yang tengah dihadapkan pada realitas budaya global.
Ajimat Rante Bui
Dalam sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.

Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.

Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.

Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.

Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.

Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.

Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.

Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.

Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.

Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.

Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.

Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramay itu,” tulis Zentgraaff.

Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.

Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.

Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.

Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.

Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.

Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.

Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff. [Rampagoe Bang Dj] selengkapnya...klik di sini.....